Cinta pertama
Cinta pertama
"cinta pertama itu tidak selamanya sejati" -@MARIOGINAN7AR
Sepertinya begitu. Setidaknya untuk saya. Saya dan cerita hidup saya.
Cinta pertama emang ga selamanya sejati. Tapi seenggaknya saya bersyukur, pernah mengalami cinta pertama yang longlasting, at least till now.
Salah satu cinta pertama saya di dunia ini adalah dengan menulis. Rasanya -seperti layaknya cinta pertama- degdegan saat pertama memulainya.
Entah aneh atau bagaimana, saya sering geli bahkan jijik nginget2 tulisan saya sendiri ketika sd. Terlalu puitis buat anak seusia itu. Puitis yang ga pas tempatnya.
Semakin lama saya kuliah di psikologi, semakin saya sering berefleksi. Saya jadi sadar, betapa bayangan orang pacaran, bahkan nikah, sudah ada di benak saya sejak sd. Lucu? Buat saya enggak. Saat seumur gitu, malu sekali rasanya untuk cerita ke ortu bahkan temen (yang jelas2 g capable untuk dicurhatin hal tsb).
Saya bukan tipe anak yang terlalu sering diekspos media oleh keluarga saya. Keluarga saya sangat edukatif. Kami terbiasa untuk mengerjakan mainan-mainan edukatif dan asah otak saat liburan. Kami disajikan ensiklopedia yang menurut saya cukup banyak, dalam versi buku cetak maupun digital. Saya, yang memiliki keingintahuan besar pun suka diajak ke pasar tradisional, swalayan, tmpat cuci mobil, kantor bapak, dan kantor ibu. Waktu saya menonton tv adalah saat saya benar2 tidak punya kerjaan atau lagi malas-semalas2nya.
Tontonan yang boleh saya nikmati pun terbatas, seiring televisi kami saat itu hanya dua, dan dua2nya ditempatkan di ruang dimana orang2 rumah berseliweran, jadi sudah tentu g bs nonton yang aneh2.
Cuma, saya sering ikut nenek dan ibu menonton sinetron. Berikut dengan kakak dan pembantu saya. Semua jadi satu jika sudah duduk rapi di depan kotak elektronik berwarna tersebut.
Apa yang terjadi pada saya selanjutnya? Saya melihat kisah cinta sinema elektronik itu begitu berbumbu, mengharu biru. Dan langsung lah saya encode ke memori saya, dan sering tertuang dalam puisi2 saya.
Puisi2 saya saat saya sd tidak pernah lepas dari tema cinta dan lingkungan. Kalo lingkungan, sudah pasti itu karena memang passion saya ada di situ. Sejak kecil saya senang bermain di alam, walaupun hanya sekedar main di kebun singkong belakang rumah, walaupun saat ke tangkuban perahu saya nangis memeluk batu karena takut melihat kawah yang berada di bawah lereng pijakan saya, walaupun ketika naik perahu boat di ancol belum apa2 udah minta udahan. Ketakutan yang secara gigih saya kikis.
Lantas bagaimana tentang cinta? Wajar kok, menulis sesuatu walaupun kita belum pernah mendapatkannya. Sperti anak kecil yang segitu kepengennya pake baju gaun biar kaya princess2 yang tinggal di kastil, kastil yang paling sekarang gw taunya ada di europe (seperti rusia dan prancis, serta negara2 yang masih menyimpan sisa2 peradaban masa lalu, dan kalo di Indonesia, ehem paling banter taman mini). Seperti orang yang berdandan rapi walau cuma ke coffee shop, berdandan seakan2 dia mau kencan sama orang yang katanya the one nya, padahal dia belum nemu serpihan tersebut.
Menulis cinta. Dengan menggebu-gebu saya pernah menulis puisi dengan topik itu, saat saya sd, yang ujung2nya puisinya saya simpan sendiri atau saya buat jadi lebih tersirat.
Tulisan saya terus berkembang, seperti cinta yang terus-menerus saya jaga dan kelola. Saya mulai mengikuti kompetisi menulis sejak sd. Saya sempat mengikuti lomba memperingati hari air sedunia tingkat sejabotabek.saat itu, puisi saya tentunya tentang air. Saya, jujur, bukan pembaca puisi yang baik. Sekalipun ada masa2 dimana saya lagi banci tampil, berani gila, dan kesannya gatau malu, saya sampai sekarang belum berani all out saat membacakan puisi, apalagi puisi saya sendiri, di hadapan banyak orang. Saat itu cukup banyak dari sekolah saya yang mengikuti pemilihan untuk mewakili sekolah kami di lomba tersebut. badan yang tak bisa tenang, tangan yang memegang kertas dengan bergetar, saya akhirnya mengakhiri pembacaan puisi tersebut. Guru bahasa Indonesia saya, Pa Ahmad cuma bilang: "Mel, kamu kaya orang kebelet pipis, bacanya buru-buru banget."
Alhamdulilah, saya terpilih untuk mewakili sekolah saya beserta 9 rekan lainnya. Saya pun menanti. Menanti bukan menunggu. Kalo kata Muhammad Nuh:"ada ruang tunggu, ga ada ruang nanti. Di ruang tunggu,kita seenggaknya punya kepastian, kita akan menunggu berapa lama lagi, kita akan masuk ruangan setelah siapa. Kalo menanti kan ga jelas". Bahwa akhirnya saya tahu, tanpa alasan yang jelas kami batal diberangkatkan ke Jakarta untuk berkompetisi.perjuangan pertama pun pupus di depan mata. Beuuus.
Tapi seenggaknya, untuk kesekian kalinya saya nyoba ikut lomba, entah lomba yang keberapa, barulah saya dapat merasakan bahagia mewakili sekolah seperti cerita di atas (walau endingnya ga enak). Saya melanjutkan perjuangan saya, akan kecintaan saya pada menulis. Saya sempat mengikuti kompetisi menulis yang diselenggarakan oleh BRI. Saat itu, saya masih ingat bahwa saya menceritakan tentang Gunung Salak, yang saya tulis sebagai gunung berpuncak empat.
Saat SMP, tulisan saya mengenai cinta mulai bisa diterima. Saya sempat jadi pemenang hiburan di lomba menulis cinta yang diadakan majalah Kawanku. Puisi saya dimuat di majalah tersebut kemudian saya mendapat hadiah.sayang, hadiahnya ga rewarding buat saya. Lima buah komik. Saya kan ga begitu suka komik -___-.
Salah satu orang yang beperan membimbing saya dalam mengikuti lomba-lomba adalah guru bahasa Indonesia saya, Bu Tri Murti. Diajar dengan beliau membuat saya semakin sayang sama mata pelajaran bahasa Indonesia. Tugas-tugas menulis ataupun mengarang menjadi ga terlalu berat buat saya yang emang sifatnya demen ngoceh, mengkhayal, dan menulis. Bu Tri kemudian mengenali kelebihan saya, bakat saya, dalam menulis. Beliau lalu mengajak saya mengikuti seleksi untuk mewakili smp saya dalam kompetisi menulis yang diadakan oleh depdiknas. Bu Tri mengajak serta beberapa teman saya yang memang dilihatnya berbakat dalam menulis. Seleksi itupun dilaksanakan secara bertahap. Dan beliau bilang kalo bakal ada tiga orang yang bakal mewakili smp saya. Dan saya berhasil masuk ke dalam zona tiga besar tersebut. Dan ternyata yang diambil cuma satu orang. Dengan segala sedih akan harapan yang mungkin terlalu tinggi, saya pun menyadari bahwa saya belum sebaik teman saya, Lulu.
Tahun berikutnya, saya mengikuti kompetisi yang sama dari depdiknas. Saya pikir tahun ini kami hanya mengirimkan softcopy via email saja atau diprint dan dikirim via pos. Ternyata tidak, saya yang sejak lama sudah menyelesaikan tulisan tersebut ternyata mesti ikut lomba on the spot, dan dikasi taunya mendadak. Jadi saya baca sekilas apa yang telah saya tulis. Tanpa babibu lagi, saya langsung pergi ke lokasi lomba dengan pulpen yang tintanya uda mw abis. Dan langsung nulis lebih dari seribu kata dengan tulisan sambung.
Dan, ternyata pengumumannya tak kunjung tiba hmmm....
Saya kemudian mengikuti lomba puisi dan cerpen yang diadakan oleh SAS,sebuah penerbit buku. Saya menang. MoU sudah di tangan. Janji cuma janji. Bukunya ga kunjung terbit.
Entah hingga kini sudah belasan atau bahkan puluhan kali saya mengikuti lomba menulis.
Cinta pertama, yang begitu saya yakini.
Ketika ibu bapa saya mencemooh ketika mata pelajaran yang paling saya suka adalh b.indo (kenapa bukan fisika atau matematika). Bahwa merka bilang kalo menulis itu hal yang terlampau wajar, karena semua orang bisa menulis.
Balik lagi ke konsep cinta, cinta itu pilihan. Pernah ga sih kita memilih sesuatu yang unmainstream, misalnya kita milih cowo yang mukanya kata orang-orang jelek? Pada akhirnya, saya melabuhkan hati saya pada bahasa Indonesia, pada menulis.
Seenggaknya, saya tahu apa yang saya bisa pertahankan, saya perjuangkan. Sebuah hal yang saya benar2 suka untuk lakukan,suatu hal yang secara perlahan saya besarkan.
Menulis itu biasa? Menulis itu mainstream? Semua bisa menulis, tapi ga semua orang bisa benar-benar merasakan dan memberi rasa pada apa yang dia tulis:-P
Sampai dulu saya pernah mikir:"kalo saya sepait2nya ga jadi apapa, gapunya kerjaan, saya akan total menjadi penulis"
Cinta pertama yang begitu indah, yang tidak pernah lelah saya bawa berlari, sampai nanti
No comments: