22
I don't know about you, but I'm feeling 22
For some people feeling 22 = feeling younger. What about me? I think I don't. Don't feel like feeling as 22 years old person will bring me to the younger age.
Ya, mungkin saya harus jujur bahwa berusia 22 tahun bukan keinginan saya. Tapi kehendak sang waktu yang menggulirkan detik-detik hingga berbuih jam, lalu hari, lalu tahun. Sadar akan usia saya yang bertambah membuat saya kadang semakin cemas akan apa yang saya hadapi dan apakah bisa saya mencapainya.
Bicara tentang usia 22 takkan lepas dari perkuliahan. Karena tepat di usia 22 tahun (kurang 4 hari) saya dinyatakan lulus dari perkuliahan S1. Kuliah bukan sekadar datang ke kampus untuk kemudian diceramahi dosen. Masa kuliah adalah masa yang sangat mendewasakan saya. Entah mengapa cobaan-cobaan berat justru menghampiri saya saat kuliah. Namun, setidaknya saya bersyukur karena kumpulan-kumpulan masalah itu tidak hadir di masa SMA saya yang penuh kelabilan.
Satu per satu masalah mengetuk saya. Di awal masa perkuliahan saya merasa tidak cocok dengan teman-teman kuliah saya yang menurut saya tidak cekatan dan sering mager. Saya sampai pernah menangis saat cerita kepada teman SMA saya via yahoo messenger. Mengapa saya tidak menemukan teman seperti saat saya di SMA yang rajin? Mengapa terkadang mereka kurang inisiatif? Kemudian seiring berjalannya waktu saya belajar menerima keadaan. Saya menerima diri dan keadaan di luar diri saya. Masalah pertama yang mengetuk saya membuat saya berani untuk mengetuk pintu perkenalan dengan teman-teman saya. Saya mulai bisa menerima walau kadang orang menilai saya terlalu kaku dan rajin. Entahlah. Setidaknya masalah pertama bisa diatasi.
Masalah berikutnya adalah masalah internal keluarga saya yang tentunya tidak bisa saya ceritakan secara detail di sini. Yang jelas, masalah ini tak pelak membuat saya sedih, kadang berbaur dengan rasa marah dan kecewa. Ada fasenya saya sangat sedih menahan cerita ini sampai saya ke psikolog. Ada fasenya setiap hari saya menangis bila mengingat polemik yang sampai saat ini belum usai, dan entah kapan berakhirnya. Tapi ada saat dimana saya mulai bisa berdiri di samping masalah ini. Saya tentu tidak akan berjalan di depan dalam arti meninggalkan masalah ini karena saya adalah orang yang bertanggung jawab. Saya tentu tidak akan berjalan di belakang masalah ini karena saya tidak mau masalah ini menjadi penghalang bagi hidup saya. Saya MAU berjalan di sampingnya karena saya tahu saya punya masalah hidup lainnya sehingga tidak mau terus menerus diikuti ataupun dibayang-bayangi masalah ini. Saya cukup menaruhnya di samping, agar saya selalu ingat ada hal yang harus saya selesaikan.
Butir.. mungkin bola-bola, masalah lainnya menghampiri saya. Hampir semua terkait akademik. Saya jadi tahu betapa kejamnya kuliah jika dibandingkan SMA. Izinkan saya sejenak mengingat masalah di masa-masa SMA. Oke, saya ingat. Hidup, kok, didominasi masalah percintaan? Cih. Receh. Ga level. Tapi setidaknya segala masalah receh itu hampir semua bisa selesai dengan tuntas. Tak seperti kuliah yang masalahnya datang melulu tapi tidak ada yang pergi. Sehingga, apabila diibaratkan botol, pemiliknya selalu memasukkan air namun tak pernah mengeluarkannya. Penuh. Sesak. Cukup sudah pertemuan demi pertemuan dengan dosen yang kurang menyenangkan dalam mengajar kemudian memberikan nilai yang tidak objektif. Cukup sudah dosen yang tidak mengajar di kelas namun mengisi kelas dengan topik lain dan memaksa mahasiswanya berpendapat sama dengan dia. Saya masih harus menghadapi teman (kalau boleh disebut teman) yang keras kepala dan rela menjadikan temannya sendiri tumbal.
Dan saat saya ingin membantu dia dengan menegur dan mengingat tugas, saya dikenang sebagai orang yang sensitif, judgemental, egois, dan tidak bijak.
Semoga Tuhan yang menindakmu, teman.
22 adalah sebuah angka kembar. Bila angka tersebut bisa berbicara, mungkin keduanya akan mengingatkan saya, "Halo, kurang jelaskah kamu kalau kami adalah penanda bahwa kamu manusia berusia kepala dua.". 22 justru bukan membuat saya merasa lebih muda, namun lebih dewasa di usia yang muda. 22 menandakan perjalanan hidup saya yang tidak sebentar. Dan cobaan-cobaan yang berat saya hadapi menjelang usia 22. Saya tahu, 2 bukanlah angka yang kokoh seperti 8. Oleh karena itu, butuh usaha yang besar untuk saya mengokohkan kedua angka 2 dalam hidup saya, saat ini.
22
Reviewed by Amalia Riska Gustiano (gustiamalia)
on
September 16, 2015
Rating: 5