Kepada Kamu dengan Penuh Kebencian
Terinspirasi dari Puisi Raditya Dika dengan judul yang sama, saya juga akan membuatnya dalam versi saya
Kepada Kamu dengan Penuh Kebencian
Aku kenal kamu secara tidak sengaja. Berawal dari iseng melihat iklan di media sosial. Katakan aku bodoh karena aku mengikuti apa yang dimunculkan sosial media itu, saat itu. Katakan aku bodoh, karena peduli dengan iklan itu. Katakan aku bodoh, karena aku mau kenal kamu padahal duniaku tanpa kamu jauh lebih indah.
Secara tidak sengaja, saya membuka situs yang membuat kita bertemu. Sebuah situs yang membuat kita jadi kenal. Ada hal-hal yang membuatku tertarik mengikuti situs ini, ya kamu tahu alasan itu.
Usai melakukan registrasi, aku bertemu beberapa orang di situs tersebut. Melihat orang-orang yang kutemui tidak menarik, aku pamit sejenak dari situs itu. Hingga akhirnya beberapa pesan menyapaku. Salah satunya dari kamu.
Aku benar-benar tidak kenal kamu sebelumnya. Tapi kamu ungkapkan kamu tertarik dengan sesuatu, yang memang bidangku. Kemudian, kamu meminta kontakku. Bodoh, mengapa begitu saja kuberikan. Padahal kamu bukan siapa-siapa. Asing. Tak dikenal.
Kita mulai menjalin percakapan lewat aplikasi chatting. Dan di situlah petaka dimulai...
Aku takut jatuh cinta. Aku tahu ketakutanku aneh, tapi cukup beralasan. Aku pernah gagal di hubungan-hubungan sebelumnya. Bahkan berakhir tragis. Beberapa kali aku menyukai orang yang ternyata menyukai sahabatku, orang terdekatku, teman sebangkuku. Aku sulit berpindah. Bukan karena lelah dan enggan, tapi karena aku terlampau setia pada sesuatu dan seseorang. Kamu tahu, berpindah tidak pernah menjadi hal yang mudah bagiku? Butuh waktu setidaknya tujuh tahun kuhabiskan untuk berpindah dari seseorang ke orang yang baru. Untuk memulai hidup baru. Untuk mengenangnya sebagai lukisan hidup saja.
Maka dari itu, aku takut kenal kamu. Karena aku kini sangat berhati-hati, bahkan ketika ada yang mengajak berkenalan saja.
Lalu kita berbicara banyak hal. Banyak. Kita berbicara tentang latar belakang kita. Sedang apa kita saat itu, mau ke mana hari itu, makan apa hari itu. Sampai kita bertukar informasi tentang diri kita, melalui permainan. Aku tahu benar fakta/informasi yang aku berikan pada kamu dalam permainan itu sudah kusiapkan sebelumnya, sebelum aku tahu kamu. Dan info-info itu bersifat sangat umum. Lalu, aku melihat milikmu, yang detail dan penuh ekspektasi. Aku tidak tahu harus berkata apa saat itu, karena aku cukup sadar bahwa ekspektasi kamu jauh dari kenyataan aku.
Dari situ pandanganku berubah, sedikit goyah. Entah berapa kali kamu berusaha menyamaiku. Padahal aku bisa tahu, kamu sebenarnya tidak seperti itu. Kamu bilang kamu suka jazz, tapi kamu tak tahu siapa itu Sinatra. Kamu terkadang batu kalau diberitahu dan seringkali kaku. Kamu terlalu mudah mengeluarkan kata-kata yang ambigu dan sulit untuk ditebak, hanya untuk mengeluarkan ungkapan manis, yang boleh kita sebut sebagai gombal. Dan itu terlalu manis, hingga tak masuk akal.
Aku lelah ketika harus menunggu kamu menelpon dan pada akhirnya hanya aku yang banyak bicara. Aku tahu, aku senang berbicara banyak. Tapi aku juga manusia yang butuh komunikasi dua arah.
Aku lelah dengan semua ini. Ibarat sebuah buku cerita, aku ingin melompat saja ke halaman paling belakang. Aku curang. Aku ingin tahu akhir dari semua ini. Menebak bukan keahlianku, bahkan kurasa menjengkelkan jika harus menebak maksudmu.
Aku mengajak kamu bertemu. Iya, bertemu di dunia nyata. Aku lelah menunggu, menunggu hasil akhir cerita ini. Kamu menolak untuk bertemu dua kali. Karena sibuk. Aku semakin yakin, akan hasil yang tidak baik.
Akhirnya kita bertemu. Dan saat itu kamu terlambat. Percayalah, aku adalah orang yang sulit menepati waktu. Tapi demi kamu, aku yang bodoh ini rela bergegas lebih awal. Aku menunggumu satu setengah jam di peron kereta. Aku kurang suka Kota Tua saat itu. Bukan karena tidak mencintai sejarahnya, tapi karena aku baru beberapa waktu sebelumnya ke sana. Hari itu pun sangat terik. Panas dan ramai terbayang di benakku.
Lalu kita benar-benar bertemu. Dan sialnya aku salah menempelkan kartu kereta dan untuk pertama kalinya aku terkena penalty. Mungkin itu sebuah pertanda, bahwa perjalanan kita akan berlangsung kurang baik hari itu. Kamu bercerita bahwa kamu ingin mengunjungi pameran temanmu di salah satu museum. Oleh karena itu, kita menyebrang dari stasiun ke Kota Tua, lalu mencari lokasi museum itu. Saat kita menyebrang, aku sangat heran mengapa aku harus menyebrangimu. Lalu, aku benci ketika aku bertanya kamu ingin ke mana, kamu jawab terserah. Asal kamu tahu, demi kamu aku ke sini, ke Kota Tua, yang sebenarnya tidak dekat dari kost-anku. Dan juga tidak dekat dari rumahmu. Ini semua demi kamu. Lalu aku berubah menjadi tour guide dadakan buatmu. Aku rela berbicara panjang lebar menjelaskan Kota Tua, seolah-olah aku memang bekerja secara profesional pada agen travel. Lagi-lagi, demi kamu. Aku benci ketika kita berkunjung ke salah satu museum, aku tak berani berbicara menatapmu. Karena saat itu aku menangis, rindu sedalam-dalamnya pada orang, yang tentunya bukan kamu. Meski aku punya kenangan bersamanya di sini, aku rasa aku tak perlu sampai menangis kalau kamu cukup menyenangkan hari itu. Cukup menarik perhatianku.
Sampai kita ke museum terakhir, yang seharusnya jadi tujuan utamamu. Lagi-lagi-lagi, aku yang harus menanyakan ke orang-orang sekitar di mana lokasi museum itu. Dan ketika sampai sana, kamu tahu dari satpam bahwa pameran yang kamu cari tidak ada. Kecewa? Pasti. Semua benteng ekspektasiku hancur.
Lalu kita bergegas ke halte busway. Aku sudah tidak minat untuk melanjutkan perjalanan ini, karena kini aku sudah pintar menebak. Setidaknya untuk akhir perjalanan kita. Aku terus menyibukkan diri dengan ponsel pintarku seraya mencari alasan untuk segera mengakhiri pertemuan kita. Aku terlanjur janji sama kamu, untuk pergi ke sebuah mall yang jauh lebih dekat dari lokasi tempat tinggal kita berdua. Aku sengaja mencari mall yang cukup besar agar kita tidak kehabisan topik dengan mengunjungi banyak restoran atau toko. Sayang, aku hanya ingin makan bersamamu saja karena aku terlampau lapar. Dan di sana kamu lagi-lagi berdalih sebagai good listener dan membiarkan ku bercerita panjang.
Aku sangat bersyukur hari itu aku menemukan agenda bersama teman-teman komunitasku di sore hari, sehingga aku bisa segera mengucapkan pisah padamu. Sudah mau berakhir saja pertemuan kita, kamu masih saja membuatku bingung karena tak tahu cara untuk pulang. Aku memberitahu secara rinci kamu harus ke mana. Sampai kita berada di lobi, dan aku memberhentikan kendaraan roda tiga buatmu. Kamu hanya diam dan lagi-lagi aku menolongmu untuk menawar harga. Kamu pergi, sementara aku masih harus mencari taksi untuk pergi ke acara komunitasku.
Aku tidak pernah menghina orang yang bermimpi, tapi aku sangat menyayangkan orang yang seperti ini -jauh dari ekspektasi idamanmu- saja kamu perlakukan seperti kakak yang harus selalu membimbing dan memimpin selama perjalanan, bagaimana dengan wanita-wanita yang sesuai ekspektasimu? Sesuaikan mimpimu.
Aku benci mengapa kita harus saling kenal. Dan mengapa kekecewaanku menumpuk hingga sakit pinggang tak terkira mesti aku rasakan, yang kucurigai psikosomatis akibat semua rasa kecewa itu.
Aku tahu aku bukan yang terbaik. Tapi setidaknya aku selalu jujur dan berusaha apa adanya saat memulai hubungan, bahkan sejak masa perkenalan. Tentu banyak hal yang aku tidak aku ceritakan padamu, karena toh kamu orang baru bagiku. Tapi aku berani jamin apa yang aku ungkapkan tentang aku tidak berlebihan. Aku tidak pernah berkata aku cantik, lalu tinggiku lebih dari 160cm, menyukai musik EDM agar terlihat begitu kekinian. Tidak. Tidak pernah sekalipun.
Sudahilah semua yang terlalu manis, gula buatan tidak akan pernah lebih baik dari gula alami. Belajar memaniskan apa yang kamu benar-benar punya, bukan menabur gula di atas kopi yang rasanya benar-benar berbeda.
Maaf atas segala kebencian ini. Semoga kita bisa menjadi lebih baik dari kebencian-kebencian ini.
Selamat malam, selamat menemukan yang baru.
No comments: