Menebak Rencana Tuhan
Saya adalah salah satu orang yang percaya pada jodoh. Iya, jodoh. Mungkin kamu, atau banyak orang lainnya juga percaya sama yang namanya jodoh.
Saya percaya kita semua punya jodoh. Bukan alibi atas status saya yang selama ini sendiri. Bukan juga bermaksud membenarkan ketiadaan usaha kita dalam mencari pasangan. Saya percaya kita semua mencari potongan puzzle yang cocok untuk melengkapi hidup kita. Potongan puzzle di dunia ini pasti banyak, sangat banyak. Saya, kamu, kita semua bisa menemukan lawan jenis (bagi yang heteroseksual) di manapun. Bisa berkomunikasi, lalu merasa terkoneksi, lalu menikmati apa yang terjalin. Mungkin kamu dan dia akan berjumpa lagi, cepat atau lambat. Direncanakan atau tidak. Membicarakan hal yang sama atau lebih dalam. Di situasi yang sama atau berganti. Dengan status yang sama atau sudah berbeda. Puzzle tak mesti besar, tak mesti kecil, tak mesti mahal, tak mesti berwarna, tak mesti bentuknya sama dengan kita. Yang penting sesuai dengan kita.
Yang penting sesuai.
Yang penting sesuai.
Yang penting sesuai.
Saya merasa ada suatu keharusan yang menuntut saya menebalkan, sekaligus menggarisbawahi kata: yang penting sesuai. Mengulangnya berkali-kali sampai menggambang lima sentimeter di depan kening saya. Atau yang paling realistis untuk saat ini, menempel di langit... langit-langit kamar saya.
Saya percaya, kita punya banyak jodoh. Jodoh tak melulu tentang pasangan. Jodoh hadir di setiap bagian, bahkan bagian kecil dari kehidupan kita. Saya pernah naik ojek online yang datang tepat waktu, bahkan ketika saya masih butuh waktu untuk menghabiskan makanan saya di Cikini. Pengendaranya sangat ramah dan meski ia tidak tahu persis alamat yang saya tuju, ia bersedia bertanya atau mencarinya. Tiba-tiba, saat baru sampai di Matraman, ia berhenti.
"Neng, kayanya ban saya bocor, deh..", begitu katanya.
Kita belum berjodoh. Lalu ia menghentikan rekannya dan meminta saya untuk menumpang pada motor rekannya. Meski rekannya sesama pengendara tidak seramah ia, tapi toh rekannya yang akhirnya mengantarkan saya ke tujuan.
Setiap malam, saya memikirkan jodoh. Melihat langit-langit kamar, menutup mata, membukanya kembali, dan menutupnya untuk lebih lama. Jodoh dalam pekerjaan. Perasaan campur aduk, atau bahkan kosong-terisi-lalu kosong kembali sering menghampiri. Mungkin kejadian ini kembar, dengan peristiwa empat tahun lalu. Tepat ketika saya lulus SMA. Usai menyelesaikan UAN, semua sibuk mencari tempat untuk berkuliah. Lalu, semua berjanji:
"Iya, nanti kita kuliah di tempat yang sama* ya!"
*sebut saja ITB, UI, atau universitas lain yang kalian inginkan
Lalu semua janji yang terlalu manis itu menguap, mengapung, tinggi, dan semakin tinggi di udara. Hingga janji tersebut terurai menjadi butir-butir, dan berlabuh di tempatnya masing-masing. Ada yang terdampar di tempat yang tepat. Ada yang masih perlu mencari. Ada yang terjatuh cepat, ada yang terhempas lambat.
Semua terlalu manis awalnya. Mimpi sampai ingin terus bersama dengan teman-teman di suatu perguruan tinggi. Memakai jas almamater yang sama. Tinggal bersama. Memulai kegiatan beradaptasi dengan kampus bersama.
Lalu satu per satu dari mereka diterima di tempat yang mereka inginkan. Hingga saya berjuang sendiri, sampai tes terakhir, dan menjadi mahasiswa UI.
Dan kini, UI adalah tempat saya bertemu dengan banyak teman. Teman yang mungkin saya tidak akan temukan di tempat lain. Mungkin kita akan bertemu lagi, nanti. Saat kita masing-masing sudah memegang posisi strategis. Saat kita semua berbicara di bawah bendera perusahaan besar, atau gelar profesi.
Momen dimana buka-tutup-buka-tutup mata menjadi sangat sakral namun saya lakukan setiap malam. Sebelum tidur. Satu per satu teman seperjuangan dalam mencari kerja telah menemukan tempatnya. Entah sesuai dengan passion atau tidak, nyaman atau tidak. Setidaknya mereka punya tempat baru, penghasilan baru dengan titel sarjana. Satu per satu perusahaan saya kirim email, datangi untuk interview, datangi untuk tes, dan datangi bahkan untuk sekedar berbicara santai dengan bagian HRD-nya.
Sesungguhnya bagian yang paling sulit bagi saya dalam mencari jodoh adalah menebak rencana Tuhan. Entah Tuhan berapa kali saya sebut dalam setiap proses pencarian kerja.
Lolos tahap tertentu: "Ya Tuhan, apa ini jodoh saya?"
Gagal di tahap awal: "Bukan jodoh saya, ya, Tuhan?"
Gagal di tahap-tahap berikutnya: "Ya, Tuhan saya salah di mana saat interview/tes?"
Mungkin momen buka-tutup-buka-tutup mata tidak langsung akan berakhir ketika saya mendapat kerja. Tapi setidaknya saya meluangkan waktu untuk memejamkan mata lebih lama dan berkata:
"Ya Tuhan, yakinkan hamba bahwa hasil takkan mengkhianati proses. Bahwa yang berkilau bukan berarti tanpa cacat. Bahwa Kau simpankan hamba Jodoh yang terbaik darimu untuk bekerja. Bahwa Jodoh tak mesti kaya, mewah, dan datang dengan cepat, yang penting sesuai untuk hamba."
No comments: