Penggalan Kisah Lama


Penggalan Kisah Lama - La Luna

Entah mengapa saya selalu suka dengan lagu ini. Se-la-lu.

Berdegup kencang Oh hatikuBerhenti denyut nadikuKu terpaku tak bicara

Discalimer: saya tidak membicarakan hal-hal receh. Saya tidak berbicara khusus mengenai momen degdegan saya ketika bertemu lawan jenis, seperti yang diceritakan lagu tersebut.

Tak terhitung berapa kali saya mengalami situasi seperti itu. Banyak hal di dunia ini yang selalu membuat jantung saya berdegup dua (bahkan tiga) kali lebih cepat dari biasanya. Lalu kemudian terdiam cukup lama.

Dulu saya adalah anak yang sangat pemalu. Saya hanya punya sedikit teman. Sering menangis bila ditinggal oleh teman, bahkan ketika ia hanya izin sebentar untuk ke toilet. Tidak bisa berbicara banyak di depan banyak orang. Tidak berani menyapa orang terlebih dahulu. Berjalan dengan posisi menunduk. Membuang muka saat disapa teman.

Saya kerap kali dicap sombong. Judes. Galak. Jauh sebelum saya mengenakan jilbab, orang sering menyangka saya menganut kepercayaan di luar Islam. Beretnis Tionghoa. Mata saya yang sipit, kebiasaan yang suka melihat dengan posisi kepala miring, dan wajah saya ketika diam cenderung judes, membuat saya semakin sedikit memiliki teman.

Saya tidak bermaksud menyalahkan orangtua saya. Tapi saya yakin se-yakin-yakinnya, pola asuh orangtua ketika kita masih kecil berpengaruh pada karakter kita.

Saya bukan dilahirkan di keluarga berada. Saya masih ingat, ketika saya masih balita rumah saya paling sederhana di antara deretan rumah lainnya di perumahan saya. Ketika tetangga sudah melapisi alas rumahnya dengan keramik, kami masih bertahan dengan ubin. Ketika semua tetangga memiliki mobil bagus, Kami cukup dengan mobil dari kantor bapak (pinjaman selama bapak bekerja di kantor tersebut). Saat rumah tetangga sudah dilengkapi sofa empuk di ruang tamunya, kami hanya punya sofa yang tidak begitu empuk, namun di bawahnya terdapat tempat untuk menyimpan album-album foto keluarga dan mainan saya dan kakak. 

Di tengah kesulitan ekonomi saat itu, orangtua saya mendidik saya untuk menjadi disiplin. Saat anak lain dengan mudahnya mengonsumsi chiki, cheetos, dan kawan-kawannya, saya hanya bisa makan itu semua maksimal dua kali dalam sebulan. Saat semua anak bisa memakai baju adat di hari kartini, saya baru bisa memakainya di tahun kedua saya berada di TK. Saat sebagian besar anak di TK-SD saya sudah pernah bermain wahana di Dufan, saya belum. Sampai akhirnya kami sekeluarga ke Dufan harus menyewa travel padahal rumah kami di Bogor (yang seharusnya bisa menggunakan mobil pribadi, namun apa daya mobil kami tidak memiliki ac dan kondisinya tidak baik jika dibawa bahkan untuk ke Jakarta).

Kesulitan-kesulitan yang saya alami sering membuat saya merasa inferior. Kadang saya merasa tidak mampu mengakomodir pertanyaan atau pembicaraan teman tentang tempat wisata tertentu atau barang-barang tertentu yang cukup mahal saat itu, karena saya belum pernah kesana dan tidak punya barang yang mereka bicarakan. Orang tua saya yang keras dan cenderung rigid membuat saya semakin kaku dalam berteman. Saya cenderung langsung merasa tidak nyaman jika melihat teman yang berbeda nilai dengan saya, misalnya teman yang terlalu kaya, terlalu boros dalam jajan, atau terlalu sombong. Jangankan berteman, melihatnya saja saya sudah tidak sreg.

Hidup itu pilihan. Iya, memang. Tapi untuk dilahirkan di keluarga siapa, yang keadaan ekonominya seperti apa, latar belakang pendidikannya apa, sukunya apa, kita sayangnya tidak diberi pilihan. Orangtua saya sangat hemat dan keras kala itu. Kalau mereka menginginkan A untuk terjadi, maka hal A harus terjadi, tanpa kompromi. Sistem reinforcement dan punishment yang diberikan pun tidak seimbang, lebih banyak punishment. Saya bahkan lupa reinforcement apa saja yang saya dapat ketika kecil. Saya lebih banyak ingat ketika kecil saya berbuat salah, ibu atau bapak langsung mencari sendal dan melayangkannya ke badan kami, terutama bagian pantat. Ketika saya berbicara kasar, mulut saya langsung dijejali cabe rawit, kemudian bibir saya diremas oleh ibu saya. Tidak diajak berbicara selama berhari-hari, dipotongnya uang saku, penyitaan barang-barang kesayangan, dikunci di kamar atau toilet, dan beberapa jenis hukuman lain yang kerap saya terima. Tumbuh dengan banyak hukuman tentu tidak menyenangkan. Tapi mengapa saya tetap nakal? Mungkin karena saya sudah hapal benar konsep silogisme: jika A maka B, misalnya:

Jika saya berbicara kasar maka saya akan dijejali cabai rawit
Jika saya bertengkar dengan kakak maka saya akan dibentak dan dipukul oleh sandal.
Jika saya berbicara suatu hal yang terlampau kasar atau di luar nilai mereka saya ditampar.

Selain karena memang ada pemicu yang membuat saya mengulang kenakalan saya hingga puluhan kali, terjadinya hukuman yang berulang-ulang membuat saya jadi hapal pola silogisme seperti di atas. Saya jadi sudah tahu saya akan dapat hukuman apa sesuai dengan perilaku kenakalan saya. Pada akhirnya, jika suatu saat saya berhenti menjadi anak nakal, itu bukan karena saya semata-mata dapat hidayah untuk insaf, tapi karena lelah untuk dihukum. Lebih tepatnya, malas untuk dihukum. Malas berdebat dengan orangtua. Malas, ya, bukan sakit. Karena lama-kelamaan semua rasa sedih, sakit, kecewa, dan kesal karena hukuman orangtua sudah terhabituasi hingga tidak saya rasakan lagi.

Tentunya, ketika saya beranjak dewasa, saya belajar untuk tidak menjadi anak yang mudah minder. Saya mendorong diri saya untuk berani bergaul dengan siapa saja menyapa terlebih dahulu, dan beramah-tamah dengan orang-orang yang saya kenal. Namun, konsep silogisme di atas mendarah daging di dalam diri saya. Saya jadi lebih waspada dengan perilaku saya karena tahu semua yang saya lakukan ada konsekuensinya. Termasuk untuk hal-hal kecil, seperti berkenalan dengan orang baru, berhadapan dengan orang penting, dan berbicara di depan umum. Saya terlalu sering melakukan sesuatu bukan karena saya memang mau, tapi karena takut atau  sudah malas untuk konsekuensi yang kurang enak,

misal:
Saya berikan si A nilai yang baik (dalam form penilaian teman sekelompok) agar si A tidak berpanjang lebar menanyakan saya mengapa saya memberi nilai buruk, lalu memusuhi saya.


Dan saya banyak menghindar, misalnya:
  saya lebih baik tidak sekelompok dengan si Y karena Y malas mengerjakan tugas; saya lebih baik tidak bertemu X karena X kalau bertemu bisa mengajak saya makan di tempat yang terlalu mewah untuk kantong saya. 

Dan pada akhirnya, pada banyak hal saya terlampau ragu, dan selalu degdegan karena saya sering melawan kata hati saya hanya demi menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan dan memuaskan orang lain.


Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam menguntai penggalan kisah lama seseorang, menyusun kisah masa kecil anak Anda. Karena meski hanya penggalan, tapi penggalan kisah lama itu bisa jadi kisah selamanya bagi mereka. 

No comments:

Powered by Blogger.