Elegi
Selamat pagi, Tuhan dan segala kasih sayangnya. Kamar dan segala kenangannya. Namun yang harus kutengok pertama kali adalah laptop dan segala isinya. Segala data yang menemaniku sejak mengawali karir tiga tahun lalu.
Tinggal di kota kecil di pinggir jawa membuatku tak pernah berpikir untuk menginjakkan kaki di ibukota sekelas Jakarta. Paman bilang Jakarta adalah pusat para pejabat. Bapak bilang Jakarta adalh pusat ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan secara akaemis maupun ilmu-ilmu kehidupan. Ibu bilang Jakarta adalah pusat perbelanjaan dan uang.
Mereka bilang, Jakarta pusat segalanya.
Aku seorang sarjana ekonomi dari luar kota. Datang jauh atas petuah mereka demi memajukan desa. Bapak punya perkebunan kopi di desa, ratusan hektar. Kopi-kopi yang sangat banyak itu, menjadi alasan mereka rela mendorongku untuk bekerja di jakarta, di sebuah perusahaan kopi ternama. Bapak ingin aku belajar banyak mengenai pengolahan kopi disini, lalu kembali untuk mengolah kopi-kopi di Desa.
Kenalkan, namaku Egi. Egi dari elegi. Sebuah duka dari keinginan yang tak tersampaikan. Bertahun-tahun. Aku, Egi, ingin menjadi pemusik sejak lama. Sejak pertama mengenal gitar kemudian memetiknya dengan acak. Bapak tidak pandai bermusik. Apalagi Ibu. Kakek yang pertama kali membawaku ke teras rumahnya dan memberi gitar padaku yang saat itu tidak mengerti bagaimana cara memegangnya dengan benar. Sejak itu, aku rajin ke rumah kakek, hanya untuk menanyakan apakah gitar dan dirinya bersedia bertemu aku. Lalu aku memilikinya, si gitar usang. Ia kemudian kubawa kemana-mana, saat ku bersekolah dan bermain. Saat suka maupun duka. Saat hujan maupun kemarau. Saat panen maupun tanam. Diam-diam, aku menyimpan asa untuk menjadi pemusik. Sejak syair puisiku kubawakan dengan gitar di hadapan seluruh sekolah, termasuk dia. Di bawah hujan yang rintiknya tak terdengar riuh. Dia diam. Hanya memuji lewat pesan pada malam harinya. Namun sejak saat itu kami berteman, saling mendukung. Kami masih sering bertemu di Jakarta karena kantor kami berseberangan.
Aku dan dia adalah elegi. Kesedihan selalu menimpa kami, terutama kami yang berasal dari desa yang homogen. Kami tidak pernah tahu banyak tentang jenis-jenis pekerjaan, seperti remaja Jakarta. Tapi paling tidak kami lebih baik dari orangtua kami. Mereka sama seperti kami, tidak mengetahui keberagaman pekerjaan karena desa kami memiliki profesi yang homogen. Sedihnya, saat kami tahu kami bisa memiliki pekerjaan berbeda dengan apa yang kebanyakan warga desa kami jalani sebagai petani dan pengusaha kopi, orangtua kami tak mau tahu.
Elegi ini berawal dari sebuah stigma tentang kesuksesan yang dikotak-kotakkan sendiri oleh mereka. Mereka yang katanya lebih sukses dan lebih tahu mengenai sukses lebih dari kami. Padahal kami tahu, pengertian sukses didapat dari pengalaman yang mungkin berbeda antarmanusia dan tentunya antargenerasi. Ini yang kemudian membuat Jakarta kian hari kian sumpek. Karena semua orang dengan definisi sukses yang sama berbondong-bondong mendesak ibukota.Tak bisa masuk ibukota, bukan membuat mereka mundur atau membuat pekerjaan sendiri. Mereka masih setia menunggu, bahkan di peron-peron stasiun. Di emperan toko. Di trotoar jalan. Semua kesetiaan yang kebanyakan tak membuahkan hasil.
Kami yakin, sukses tidak selalu berbicara mengenai uang. Kami tidak terlampau dungu untuk tahu bahwa kami butuh uang, termasuk untuk keluarga. Sukses bagi kami adalah memaksimalkan potensi diri kami dan memberikan manfaat bagi orang lain seluas-luasnya. Definisi yang tentunya tak pernah sampai kepada orangtua atau ditolak untuk sampai.
Uang adalah sebuah benda mati yang dijalani oleh jutaan orang di dunia. Sebuah benda mati yang jalannya ditentukan oleh kita. Uang bisa berputar di segala sektor dalam segala profesi. Halal maupun tidak. Kebutuhan manusia yang banyak dan sifat mereka yang tak pernah puas seharusnya memberi peluang dan kenyataan bahwa segala sektor mesti dihidupkan. Dari urusan rambut hingga kaki. Bagiku, manusia butuh musik yang baru setiap harinya, karena mereka tak pernah puas. Karena di saat sebagian dari mereka mati dalam kebosanan, mereka butuh hal baru. Karena saat sebagian dari mereka mati, pecinta musik lainnya telah siap lahir. Karena bahagia tak melulu terlihat secara fisik, tapi juga rasa.
Elegi bukan hanya namaku, mungkin juga kamu, dan generasi lainnya yang masih harus setia berpaku pada tuntutan orang tua maupun sosial untuk sebuah kata bernama sukses. Elegi bukan tak pernah mati, tapi butuh usaha besar agar kekakuan ini berakhir. Orangtua dan lingkungan sosial bukanlah dewa, maupun hakim-hakim bijaksana yang pantas menilai baik dan buruknya cita-cita kami. Aku dan elegi-elegi lainnya sedang bangkit, tolong hargai dan beri ruang bagi niat positif kami. Mudah-mudahan kami menjadi elegi-elegi terakhir tanpa melahirkan elegi-elegi lainnya di masa depan. Semoga.
Free Spins No Deposit - LuckyClub.live
ReplyDeleteClaim up to €100 worth of free spins no deposit to play Slots at Slots of Vegas! This bonus is exclusive to our Casino Games catalog! This no luckyclub.live deposit bonus