Kunci

“Aku bakal nikah sama dia bulan depan.”

Aku menanggapimu dengan tertawa santai padahal hatiku sungguh hancur seketika. Aku katakan bahwa aku baik-baik saja padahal hati ini tidak.

Kita hidup di sebuah komplek yang sebenarnya tidak terlalu dekat. Hingga suatu hari aku melihatmu dan tak berapa lama kamu mengetuk pintu rumahku untuk mengajak aku berkenalan. Semenjak saat itu, kamu kenal aku dan keseharianku. Seiring berjalannya waktu, aku pun berkunjung ke rumahmu. Aku mengenal latar belakang keluargamu, masa kecilmu, dan apa saja yang kamu suka. Dari sana aku mengenal kesederhanaanmu. Dari sana aku tahu kecintaanmu yang demikian besar pada sastra.

Dari sana aku jatuh cinta yang sedalam-dalamnya pada kamu.

Dari sana aku mulai sering mengunjungi rumahmu yang kemudian aku anggap sebagai rumahku sendiri. Sebaliknya, aku pun tak pernah sungkan membukakan pintu untukmu dan membiarkanmu bersikap semaunya di rumahku karena aku mau kamu yang seada-adanya. Aku tak pernah melarang kamu menaruh barang-barangmu di rumahku karena aku berharap suatu saat aku akan terbiasa dengan semua barangmu jika kita nanti bersama.

Sampai suatu hari, semua kebiasaan itu berubah. Aku benci rumahmu dan tak pernah ingin berjalan mendekati komplekmu. Aku mengeluarkan semua barang yang pernah kamu simpan di bagian manapun di rumahku. Setiap harinya, aku meyakinkan bapak dan ibu kalau semua mimpi dan khayalan tentang membangun rumah bersamamu sudah tidak dan tidak akan pernah lagi ada. Hanya satu yang aku lupa dan aku membiarkan kelupaanku itu terus hidup. Aku lupa mengunci pintu hatiku.

Aku tahu, tidak pernah dan tidak akan pernah mudah bagiku mengingat saat dimana wanita itu menghampiri kamu terlebih dahulu saat kamu baru saja menyelesaikan studi seolah aku tidak pernah ada di sampingmu sebelumnya. Seolah aku ini hanya berdoa dari jauh tanpa bergerak membantumu menyelesaikan penelitian. Seolah semua perjuangan pencarian sumber data dan partisipan ini tak punya arti. Seolah keringatku tak pernah kamu hargai. Seolah apa yang telah kau pasangkan di jari ini hanya mainan. Seolah semua bahasan tentang gedung dan rumah hanya nina bobo yang terlalu fana.

Namun aku lupa mengunci pintu hatiku untukmu. 

Aku menutup semuanya padamu tapi tidak pernah mengunci pintu hatiku untukmu sehingga ada satu hal yang masih terbuka: kemungkinan. Kemungkinan untuk membiarkanmu masuk kembali ke duniaku. Kemungkinan untuk ditidurkan oleh bisikan-bisikan yang tak akan pernah jadi nyata. Kemungkinan untuk sadar dan sakit berulang kali karena aku tak akan bisa masuk rumah hatimu karena aku tak lagi memegang kuncinya. Kunci yang kamu tarik paksa tempo hari dan tanpa sepengetahuanku telah ada di tangan wanita yang asing.

Hari ini kamu berulah kembali. Masuk seenaknya tanpa mengetuk pintu hatiku sebelumnya. Dan untuk kesekian kalinya aku sadar dan sakit. Ini yang terakhir dan tidak akan pernah aku berikan napas untuk kelupaanku dalam mengunci pintu.

Pergi.

Pergi.

Pergi. 

Karena pintu ini sudah kuganti dengan yang baru dan kamu takkan bisa membuat kuncinya.

No comments:

Powered by Blogger.