Kaya Apa Sih Kuliah di Psikologi UI? Cekidot!

Oh, ini toh, saya yang rapuh itu…

Saya diterima S1 Psikologi di UI 11 tahun lalu (uda lama banget ya wak…), tahun 2011. Saya tidak pernah menyangka kalau akan berkuliah di fakultas ini, karena waktu kelas 3 SMA, saya cuma mau masuk Ilmu Ekonomi UI. Titik. Lalu setelah mencoba beragam tes, saat SIMAK UI, saya pasrah milih:

  1. Ilmu Ekonomi
  2. Psikologi (saran dari Ibu saya karena prospeknya bagus)
  3. Hukum

Saya masih ingat saat itu saya adalah angkatan percobaan dari Kemdikbud terkait program SNMPTN Undangan. Dengan mindset jatah PMDK UI cuma dikit dan jurusan IPS bakal diberikan ke siswa kelas IPS, saya sebagai anak IPA cenderung banyak mengeksplorasi diri dalam hal non akademik. Ranking saya saat kelas 2 SMA… entah nomor berapa saya lupa, namun turun banyak dari sebelumnya kelas 1 SMA saya ranking 4. Alhasil, saya tidak diterima SNMPTN Undangan dan berjuangan dengan SNMPTN Tertulis dan sejumlah ujian mandiri.

Saya tidak pernah mencoba memilih prodi psikologi sampai saya mendaftar SIMAK. Saat saya mau ikut ujian mandiri di UNAIR, di Kompas ada nomor pendaftaran saya dan saya lolos di prodi psikologi.

Belajar psikologi sebetulnya sangat menyenangkan tapi banyak misteri-misteri yang baru terungkap pasca kami diterima. Misalnya:

  1. Apakah di psikologi tidak belajar matematika? Oh tentu. Saya tidak pernah ketemu kalkulus kaya teman-teman saya di rumpun sains. Tapi kami ketemu statistik 7 semester.. yap betul, sampai lulus! Zaman saya dulu, saya bertemu Metode Penelitian dan Statistik 1–3 (semester 2–4), psikometri (semester 5), Konstruksi Alat Ukur Psikologi (semester 6), dan skripsi kami sifatnya kuantitatif dimana data tetap diolah dengan statistik. Bersahabatlah dengan SPSS:)
  2. Apakah mahasiswa psikologi bisa baca orang? Jujur sepanjang perjalanan saya S1, lebih banyak saya baca jurnal daripada bacain orang (lagian istilah baca orang bagi kami terkesan aneh loh.. kami ga bisa tiba-tiba mengenali orang hanya sekali lihat kan).
  3. Apakah mahasiswa psikologi bisa langsung memberikan tes? Di UI, kami pakai sejumlah hanya dalam konteks belajar (di kampus/dengan supervisi dosen). Pembelajaran kami saat S1 hanya dari sejarah, cara mengadministrasikan, dan skoring. Adapun interpretasi dan penyampaian kepada khalayak umum tidak pernah kami lakukan. Hal ini baru saya pahami ketika S2 dimana ketika S2, ilmu yang diberikan lebih banyak termasuk bahan bacaannya…. dan ternyata interpretasi sejumlah tes ternyata tidak semudah itu dan perlu kehati-hatian (bahkan hal ini disesuaikan dengan tujuan pemeriksaan klien dan kondisi klien juga).
  4. Apakah mahasiswa psikologi diisi cewek semua? Dulu angkatan saya totalnya sekitar 270an mahasiswa. Anggap aja 270 ya, nah 30 orangnya cowok. Apakah hal ini berpengaruh dalam pergaulan kami? Sedikit banyak Mamet di film AADC atau Jojo di film Bebas muncul di kehidupan kami (1 cowok vs 4–6 cewek). Tapi ga semua seperti itu karena masing-masing cowok punya perkumpulan/komunitas sendiri, misalnya ada yang bergabung dengan pecinta alam, teman satu kontrakan, main gitar/ngobrol di kantin, ikut BEM, dan lain-lain. Jaman saya sejumlah ketua UKM/organisasi masih dijabat teman saya yang cowok. Jadi intinya, masih bisa buat kalian yang cewek menemukan cowok. Bahkan beberapa teman saya berpacaran dengan teman seangkatan hingga menikah.
  5. Apakah mahasiswi psikologi sering dilirik mahasiswa fakultas lain? Kalau saya lebih ke.. dilirik buat kerja sama / ngomongin kegiatan komunitas. Seumur-umur S1 di UI, saya ga pacaran dan ga pernah dideketin mahasiswa UI. Tapi saya punya teman yang sangat cantik, lalu kami makan di kantin fakultas sebelah yang makaranya jingga. Senior kami sudah mengingatkan dia kalau sejak dia makan, dia udah diliatin sama cowok-cowok di meja sebelah. Saya dan dia berpamitan lebih dulu dari kantin. Ketika kami berjalan keluar kantin, tiba-tiba seseorang membuntuti kami dan berkata: 
    Eh sori tadi gue abis main game sama teman gue dan gue kalah. Sebagai hukumannya, gue disuruh minta pin BB lo.. Boleh minta pin BB lo?

Sepanjang belajar psikologi saat S1, saya pelan-pelan menemukan misteri dalam diri saya. Ada sejumlah kasus dimana kita diminta menceritakan kehidupan kita, misalnya tugas pemahaman diri dan analisis kasus. Saya saat itu tidak mendapatkan mata kuliah pemahaman diri tetapi tentunya sempat beberapa kali melakukan analisis diri. Perlahan saya seperti melihat kembali lembar-lembar hidup saya, seperti kalau teman-teman nonton Inside Out (bagian dimana si gajah Bingbong mengajak si tokoh utama melihat kembali momen dimana ia mulai takut badut). Saya menelisik kembali mengapa sibling rivalry saya dan kakak begitu kuat, saya menyadari betapa rangkaian pengabaian orang tua dan penolakan dari pujaan hati berdampak pada inferioritas saya, dan bahwa saya merasa kesepian karena bukan merupakan mahasiswa asal Jakarta (Bogor vs Jakarta aja terasa loh bedanya).


Gambar film Inside Out, kali aje ada yang lupa

Saya belajar bahwa sebelum mulai menyembuhkan diri, saya perlu menjelajahi sumbernya, merasakan dan mengakui perasaan yang dialami, dan mengidentifikasi sumber dukungan saya. Saya sempat ke psikolog di Klinik Terpadu (FYI untuk mahasiswa psikologi UI, fasilitas ini sepenuhnya gratis) dan mencurahkan sejumlah hal. Ternyata, sebelum sampai kepada saran, saya merasakan indahnya diterima oleh orang lain…. indahnya berceloteh tanpa dipotong, didengarkan idenya sekonyol apapun, dan dibimbing step by step, dan diajak berdiskusi untuk menemukan penyelesaian bukan digurui.

Akhirnya, saya yang rapuh ini merasakan indahnya diterima. Saya kembali menguat dan memiliki harapan hidup yang baru.

Seperti itulah kondisi Psikologi UI (dan saya saat S1). Mungkin sekarang banyak berbeda karena terakhir saya berkuliah S2 disana, suasana kampus banyak yang berbeda… tapi tentunya tetap insighful:)

No comments:

Powered by Blogger.